Amalia namanya…


Oleh Bunda Salsabila (dari Sumber Utama)

Dahi Amalia, gadis sederhana itu mengerut. Kelihatan sekali Ia sedang berpikir keras. Ayah yang dicintainya sudah lama menderita penyakit paru-paru. Menurut dokter penyakitnya sudah cukup parah, jadi dia harus benar-benar rnenjaga kondisi kesehatan ayahnya agar keadaannya tetap stabil dan nggak bertambah parah.

Amalia merupakan anak kedua dan enam bersaudara. Meski Ia memiliki seorang kakak laki-laki, namun selama ini sang kakak sama sekali nggak peduli dengan kondisi keluarga mereka. Bahkan dia selalu menebarkan masalah di mana-rnana, membuat susah orang lain, membuat susah keluarga dan orang tua. Selama ini Amalia yang bekerja keras mencari nafkah, sambil mengikuti kursus gratis yang diadakan oleh pemerintah. Beruntung, Amalia tinggal di kota besar, hingga bisa menikmati kursus-kursus gratis tersebut.

Di satu sisi, Amalia berusaha keras menjaga perasaan kedua orangtuanya, terutama si ayah yang sedang sakit. Tapi di sisi lain sang kakak justru selalu menambah beban pikiran mereka dengan berbagai macam persoalan. Amalia begitu terenyuh melihat kondisi ayahnya yang semakin memburuk. Tubuh-nya semakin lemah dan batuknya semkin menjadi.

Ya Allah, air matanya menetes dari kedua mata Amalia. Amalia bingung. Selama ini ia sudah bekerja keras untuk menafkahi keluarganya, tapi apa daya ia hanya seorang wanita, hingga gerakannya terbatas dalam melangkah. Meski orangtuanya nggak pernah membatasi gerakannya, tapi sebagai seorang muslimah Amalia cukup paham batas-batas yang kudu diperhatikan. Tapi uang hasil kerjanya selama ini belum cukup membantu dia untuk pengobatan yang paling ringan biayanya sekalipun. Karena pengobatan sang ayah harus rutin, sedang biaya untuk pengobatan rutin itulah yang nggak ada.

Satu-satunya sahabat karib Arnalia yang selama ini sering membantu keluarga Amalia telah pindah ke kota lain karena telah menemukan jodohnya di sana. Sahabatnya kini telah bahagia, mendapatkan suami yang shalih dan menyayangi dia. Amalia pun berharap, suatu hari ia akan menemukan jodoh yang baik seperti sahabatnya

Namun, yang paling penting baginya kini adalah mencari biaya pengobatan untuk sang ayah, hingga Ia harus menolak beberapa lamaran yang datang kepadanya. Ia terpaksa menolak beberapa pinangan pria baik, akibat kekhawatirannya yang berlebihan. Amalia begitu takut, seandainya ia menerima lamaran salah satu dan mereka dan mereka membawanya pergi dan rumah, bagaimana dengan nasib ayahnya? Adik-adiknya nggak mungkin bisa meneruskan perjuangannya mengobati sang ayah, bahkan salah satu adiknya telah menikah dalam usia yang sangat muda. Kakaknya apalagi, nggak mungkin bisa diandalkan “Ya Allah, benilah hamba kemudahan,” batin Amalia.
Kondisi sang ayah memang makin memburuk, beliau terlalu berat memikirkan kondisi anaknya yang tertua hingga kondisi fisiknya semakin rapuh, apalagi Amalia nggak mampu membawanya untuk berobat secara rutin karena terbentur biaya.

Hingga di suatu hari menjelang senja, sang ayah yang amat dicintai dan dihormati Amalia menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuan Amalia dan bunda. Air matanya telah kening sejak lama. Hatinya begitu perih. Namun, Amalia sadar apa yang tengah dihadapinya kini merupakan garis takdir yang ditorehkan Allah baginya.

Sebagai manusia biasa, Amalia sempat goyah. Semenjak ayahnya meninggal, Amalia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melamun. Begitu sulit baginya menghapus kenangan-kenangan indah bersama sang ayah. Di manapun dia berada, di dapur,di ruang tamu, di kantor,bayang-bayang sang ayah seperti mengikuti langkahnya. Hal ini membuat Amalia semakin tersiksa. Hingga suatu hari ía memberanikan diri benbicana kepada sang ibu, “Umi, Lia merasa kalo kita bertahan di rumah ini semakin sulit bagi Lia untuk menghapus bayang-bayang ayah. Di sini terlalu banyak kenangan kita bersama ayah. Lia takut tidak benar-benar ridha dan ikhlas dengan kepergian ayah. Kalo umi nggak keberatan, sebaiknya kita pindah dan sini. Menjual rumah ini dan mencari tempat lain untuk tempat tinggal kita. Ini demi kebaikan kita bersama, umi.”

Ternyata, sang ibu pun memiliki pemikinan yang sama dengan Amalia. Allah pun mempermudah semua urusan mereka, ternyata pembeli datang sendiri tanpa mereka susah susah mencari. Amalia dan ibunya kemudian mencari rumah agak ke pinggir kota. Di sana, harga rumah lebih murah. Sisa uang hasil penjualan rumah bisa mereka gunakan untuk usaha. Amalia dan keluarganya memulai kehidupan yang baru dengan lebih optimis. Hingga suatu hari surat sahabatnya, Rida, datang. Amalia begitu rindu pada sahabatnya itu, dengan  nggak sabar ia segera membuka surat itu…

Assalamualaikum.
Lia sahabatku, anak pertamaku k
ini telah lahir. Laki-laki, dia sangat sehat dan lucu. Anakku anakmu juga kan?ldul fitribesok aku akan datang ke kotamu. Aku udah kangen ama kamu dan umi. semoga kamu pun segera mendapatkan jodoh yang baik ya?
Oh, ya. Aku turutberduka atas men
iggalnya ayahmu. Yang sabar ya? Salam kangen dari Aku.
Wassalamualaikum
Rida

Amalia melipat surat tersebut dengan dada berdebar. Ia juga amat rindu dengan sahabatnya itu. Rida, sahabat terbaik yang pernah ia punya.
“Rida, Aku kini baru mulai bangkit, hari esokku sepenti aku belum  tahu. Tapi aku berharap bisa bahagia sepenti kamu. Punya suami yang baik, punya keluanga dan anak-anak yang lucu. Semoga suatu saat aku   pun akan memakai cadar seperti kamu
Bola mata Amalia berkilau, air matanya hanya menggenang, namun tidak bisa tumpah. Terlalu banyak air mata yang telah  ia tumpahkan sejak lama. Ia berhanap, esok dan esok air mata itu tidak akan pernah tumpah lagi dengan sia-sia. Dia masih punya seorang ibu, dan tugasnya kini adalah menghapus air mata sang ibu dan membahagiakannya.
“Aku sayang padamu umi guman Amalia.

Dari elfata ed 7 vol 9

3 thoughts on “Amalia namanya…

  1. Pingback: KUMPULAN KISAH NYATA | enkripsi

Silahkan tinggalkan komentar disini :)